Jakarta-Polda Kepulauan Riau (Kepri) buka suara terkait panggilan pemeriksaan terhadap anggota DPRD Dapil Kepri 6 Taba Iskandar, Rabu (13/9).
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kepri Kombes Nasriadi menjelaskan panggilan klarifikasi tersebut dilakukan pihaknya terkait kepemilikan lahan milik Taba di kawasan Sembulang, Rempang, Batam.
Ia membantah pemeriksaan terhadap Taba disebut sebagai bentuk intimidasi karena yang bersangkutan sempat mengkritisi polemik proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-city.
"Bukan (pembungkaman) kami periksa tentang kepemilikan lahan," ujarnya saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com lewat pesan singkat.
"Saudara Taba dipanggil untuk klarifikasi tentang kepemilikan lahan di Rempang, karena tugas Ditkrimsus mendata semua kegiatan usaha baik perusahaan maupun perorangan," imbuhnya.
Nasriadi mengatakan dalam panggilan klarifikasi tersebut, Taba juga telah mengakui memiliki lahan perkebunan seluas 2 hektare di Sembulang, Rempang.
Selain itu, kata dia, Taba juga dengan sadar telah menyerahkan kepemilikan lahan perkebunan miliknya kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk mendukung program Rempang Eco-City.
"Saudara Taba Iskandar sudah memenuhi panggilan Ditkrimsus pada hari ini tanggal 13 September dan sudah diambil keterangannya dan mengakui memiliki tanah di Sembulang dan dengan kesadaran menyerahkan Tanah tersebut ke BP Batam," tuturnya.
Sebelumnya Taba mengaku mempunyai lahan sekitar 18 ribu meter di Sembulang yang dibeli dari kepala desa di sana yang saat ini sudah meninggal.
Setelah 20 tahun tak digarap, dia pun memutuskan untuk berkebun di lahan tersebut. Dia mengaku menanami pohon durian. Dia pun menegaskan bahwa dirinya menanam bukan di kawasan hutan.
"Itu di kampung Sembulang ya, bukan di hutan, di kampung Sembulang di pinggir jalan. Kenapa saya perlu melakukan ini agar jangan sampai ada yang menggulai itu, menggoreng isu itu," ujarnya. CNNIndonesia.com telah memperoleh izin dari Taba untuk mengutip.
Taba mengklaim tidak masalah jika tanahnya harus digusur asalkan sesuai aturan berlaku. Namun, dia tak sepakat jika warga yang sudah tinggal di Rempang sebelum Indonesia merdeka harus digusur.
"Nah, yang masalah sekarang itu apa? Itu kan, penduduk tempatan orang yang berlahir, lahir dan beranak pinak di sana, sebelum ada BP Batam dia sudah di kampung itu, maka konsep relokasi dan memindahkan orang itu kan menjadi tidak tepat," jelas dia.
Konflik ini bermula dari rencana relokasi warga di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru dalam mengembangkan investasi di Pulau Rempang menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi.
Proyek yang dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) ditargetkan bisa menarik investasi besar yang akan menggunakan lahan seluas seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang 16.500 hektare.
Warga yang mendiami di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru tersebut harus direlokasi ke lahan yang sudah disiapkan. Jumlah warga diperkirakan mencapai 10 ribu jiwa.
Bentrok pun pecah antara aparat dengan warga pada 7 September lalu. Aparat gabungan memasuki wilayah perkampungan warga. Sementara warga memilih bertahan dan menolak pemasangan patok lahan sebagai langkah untuk merelokasi.
Tak berhenti di sana, kerusuhan kembali terjadi pada 11 September saat ribuan warga menggeruduk kantor BP Batam, Kota Batam untuk menolak rencana relokasi dan meminta tujuh massa aksi warga dibebaskan.
Sumber;cnnindonesia - antaranews (kepri)